TUGAS 3 : ORANG-ORANG PINTAR TERJERAT KORUPSI
TULISAN
ILMIAH POPULER
Jumat,
16 Agustus 2013
Kualitas
moral seseorang rupanya tak selalu sejalan dengan gelar akademik yang
diraihnya. Siapa pun dia, bahkan para profesor sekalipun, tak aman dari godaan
korupsi. Jika memang ditemukan bukti awal dugaan korupsi yang dilakukannya,
siapa pun bisa dijemput oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebut
saja Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
(SKK Migas) Rudi Rubiandini. Pria kelahiran Tasikmalaya, 9 Februari 1962, ini
dikenal sebagai akademisi ulung di bidang perminyakan.
Rudi
menyelesaikan jenjang sarjananya di Institut Teknologi Bandung Jurusan
Perminyakan pada 1985. Ia melanjutkan studi pascasarjananya di Technische
Universitat Clausthal, Jerman, dan meraih gelar doktor pada 1991. Rudi meraih
penghargaan sebagai dosen ITB teladan pada 1994 dan 1998. Gelar guru besar
kemudian diraihnya pada 2010.
Namun
kini, Rudi harus berurusan dengan KPK lantaran kasus suap yang menjeratnya. Dia
tertangkap tangan penyidik KPK di kediamannya, di Jalan Brawijaya, Jakarta,
pada Selasa (12/8/2013) dengan barang bukti pecahan dollar AS dan dollar
Singapura yang nilainya lebih dari Rp 4 miliar, termasuk sebuah motor besar
klasik keluaran BMW.
Keesokan
harinya, Rudi beserta pelatih golfnya, Deviardi, dan seorang pengusaha
perdagangan minyak mentah, Simon Gunawan Tanjaya, ditetapkan oleh KPK sebagai
tersangka.
Bukan
satu-satunya
Rudi
bukan satu-satunya akademisi yang masuk dalam pusaran korupsi. Beberapa bulan
lalu publik dikejutkan dengan ditetapkannya Wakil Rektor Bidang Sumber Daya
Manusia, Keuangan, dan Administrasi Umum Universitas Indonesia Tafsir Nurchamid
sebagai tersangka.
Guru
besar FISIP UI ini diduga melakukan tindak pidana korupsi terkait proyek
pembangunan dan instalasi teknologi informasi perpustakaan UI tahun anggaran
2010-2011. Selama berkarier di UI, Tafsir pernah menjabat beberapa posisi
penting. Sebelum jadi Wakil Rektor, dia pernah menjabat Wakil Kepala Program
Diploma FISIP UI (1997-2004) dan Wakil Dekan untuk Urusan Non Akademik FISIP UI
(2003-2007).
Di
luar kehidupan akademisnya, Tafsir juga menjadi akuntan terdaftar dengan
menjabat sebagai Direktur Keuangan dan Administrasi (1985-2003) dan Komisaris
Konsil PT JIEP Jaya (1997-2000).
Sebelum
Tafsir, ada tokoh akademisi UI lainnya yang juga terjerat korupsi. Miranda S
Goeltom misalnya. Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia itu kini mendekam
di penjara lantaran kasus suap cek perjalanan.
Miranda
mengawali kariernya sebagai dosen pada tahun 1973 di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia hingga menjadi guru besar di fakultas tersebut sampai
sekarang. Wanita kelahiran Jakarta, 19 Juni 1949, ini meraih gelar sarjananya
di Fakultas Ekonomi UI. Kemudian, dia meraih gelar Master Ekonomi Politik di
Boston University, Amerika Serikat, dan gelar PhD di universitas yang sama.
Selanjutnya,
ada nama Emir Moeis. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang juga politikus
PDI-Perjuangan ini ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka atas dugaan menerima
suap terkait proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Tarahan,
Lampung.
Sebelum
menjadi anggota DPR pada 1999, Emir dikenal sebagai pengajar di UI. Dia menyelesaikan
gelar sarjana di ITB, kemudian menamatkan pendidikan pascasarjananya di UI, dan
meraih gelar doktoral di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika
Serikat.
Meskipun
tidak dikenal sebagai pengajar, nama Andi Mallarangeng juga dikenal di kalangan
orang-orang pintar lulusan luar negeri. Andi meraih gelar doktornya di Northern
Illinois University, AS, sebelum diangkat menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga.
Namun kini, Andi berstatus sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Hambalang dan
menanggalkan jabatan menterinya.
Orang pintar dan korupsi
Terjeratnya
orang-orang pintar dalam kasus korupsi seolah menjadi hal yang lumrah. Juru
Bicara KPK Johan Budi mengakui, rata-rata mereka yang terlibat korupsi adalah
orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Mereka berasal dari
kalangan pendidikan tinggi yang kemudian menjabat di kursi pemerintahan atau
legislatif.
"Kalau
enggak pintar, ya enggak bisa korupsi. Kalau di KPK memang sudah ada beberapa
doktor yang jadi koruptor," kata Johan, Kamis (15/8).
Dia
juga mengatakan, KPK tak akan pandang bulu. Siapa pun orang itu, bergelar
profesor ataupun doktor, jika ditemukan dua alat bukti yang cukup, KPK tetap
memprosesnya secara hukum. "Jadi enggak ada hubungannya, ya bagaimana
moral dia. Ini bukan soal gelar profesor atau doktor," kata Johan.
Siapa pun bisa terjerat
Sosiolog
Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, menilai, terlibatnya akademisi dalam
pusaran korupsi semakin menunjukkan bahwa kekuatan korupsi di Indonesia semakin
sistemik dan semakin menggerogoti profesionalisme, apa pun jenis profesinya.
"Kalau
tidak dibongkar dari akarnya, siapa pun bisa saja terjebak dalam korupsi,"
ujar Arie saat dihubungi Kompas.com, Kamis (15/8/2013).
Arie
menegaskan, kini korupsi sudah tak pandang bulu. Baik akademisi, birokrat,
aktivis, maupun aparat penegak hukum bisa saja masuk dalam perilaku korup. Ia
mencontohkan kasus korupsi yang justru terjadi di institusi pendidikan seperti
dugaan korupsi proyek perpustakaan UI. Kasus Rudi, sebutnya, hanyalah bagian kecil
dari gunung es yang tampak di permukaan.
"Kini
perguruan tinggi sudah masuk scope sistem dari korupsi yang bekerja.
Ini sudah membahayakan jika terus dibiarkan," katanya.
Arie
menampik anggapan adanya culture shock yang terjadi saat seorang
akademisi yang biasa hidup sederhana harus menjadi birokrat dengan segala
kewenangan dan kemewahan yang ada. Menurutnya, faktor yang menyebabkan semakin
korupnya para pemangku kepentingan di negeri ini adalah sistem yang ada di
setiap instansi pemerintahan hingga aparat penegak hukum.
"Sistem
itu harus segera dirombak total. Sistem birokrasi harus bisa
mengimplementasikan deteksi dini atas tindakan korup," tegasnya.
Sumber : KOMPAS.COM
Komentar
Posting Komentar